berakhlak
logo

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Bengkulu

Jl. Pembangunan No. 21, Padang Harapan, Bengkulu 38225 Indonesia

Electronic Court System of Mahkamah Agung RI

E-Learning Mahkamah Agung Republik Indonesia

Elektronik Surat Keterangan

Komunikasi Data Nasional

Sistem Informasi Kepegawaian

Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Sistem Informasi Penelusuran Perkara / Case Tracking Sistem untuk Pengadilan Tinggi

Sistem Informasi Pengawasan

Survey Persepsi Anti Korupsi , Survey Kepuasan Masyarakat dan Survey Harian

IBU KARTINI “ THE ETHICAL REFORMER/SANG PEMBAHARU YANG BERETIKA”

IBU KARTINI “ THE ETHICAL REFORMER/SANG PEMBAHARU YANG BERETIKA”

RASA MANIS BUAH KUWENI

YANG TUMBUH DI PEKARANGAN

DENGAN MENGENANG IBU KARTINI

MARI LANJUTKAN PERJUANGAN

Assalammualaikum Wr Wb.

Di era Kolonial Hindia Belanda, dimana tradisi Masyarakat Jawa (khususnya) “mengatur/arrange” bahwa anak Perempuan tidak perlu mengenyam sekolah/Pendidikan yang tinggi,  karena nanti setelah dewasa menikah,  akan menjadi ibu rumah tangga yang bergelut di Sumur, di Kasur, di Dapur, mengurus suami dan anak, maka Perempuan tidak perlu ke luar rumah/dipingit dst yang “membatasi kehidupan sosial budayanya /limit her social cultural life).

Di zaman dalam tradisi “yang membatasi/which is limiting” dan pada umumnya para Perempuan-perempuan pasrah menerima “takdir” tersebut, lahirlah  sosok “permata yang indah/beautiful gem”  pada 21 April 1879 di Mayong Afdelin Jepara (Jepara) puteri  seorang bangsawan dari Bupati Rembang Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah  yang melalui surat-suratnya “nanti” diketahui beliau menyampaikan pemikiran dan gagasan untuk mengangkat derajat kaum Perempuan  Bumi Putera di dunia Internasional melalui dunia Pendidikan, atau “sang Pembaharu yang beretika/the Ethical reformer”.

Kenapa Ibu Kartini disebut Sang Pembaharu yang beretika?

Sang Kartini, di masa usia sekolah di ELS (Europesche Lagere School),sudah mempunyai kebiasaan membaca koran dan mencatat (rajin belajar dan menambah wawasan di luar pelajaran sekolah), sehingga lancar Bahasa Belanda,  dan Kartini muda  di Sekolah sudah merasakan adanya” ketidak- adilan/diskrimatif sebagai anak pribumi (walau dari keluarga bangsawan), dari siswa turunan Belanda dan Gurunya.

Namun hal itu, tidak membuat Kartini muda  melakukan “pemberontakan/perlawanan secara phisik dan frontal”, namun ketidak-adilan/diskriminatif tersebut, “dilawan” dengan sesuatu yang beretika seperti berprestasi dalam Pendidikan, kelancaran berbahasa Belanda, dan pengetahuan yang luas, termasuk mengagumi dan mengkaji pemikiran pahlawan Perempuan India Pundita Mamambai (yang diceritakan Kartini pada temannya Ny. Nelly Van Kol, yang menjadikan salah satu inspirasi untuk memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan Perempuan).(*)

Setelah lulus ELS, Kartini muda tidak bisa melanjutkan sekolah di  Semarang, karena dilarang Ayahnya yang terikat oleh tradisi yang ada, bahwa Perempuan sekitar usia 12 tahun harus dipingit dan belajar adat istiadat dst,  sebagai persiapan menuju jenjang perkawinan.

Harapan dan cita-cita untuk menggapai Pendidikan yang lebih tinggi tidak dapat diwujudkan, karena terhalang oleh tradisi yang ada, namun kekecewaan Kartini muda tidak diwujudkan dengan pemberontakan dan perlawanan terhadap ayahnya, namun Kembali lagi Kartini menunjukkan sosok sebagai anak Perempuan yang berbhakti pada orang tuanya “sami’na wa ato’na/saya mendengar dan saya patuhi”, maka kekecewaannya “disalurkan/distributed”  dengan membaca dan menulis surat pada temannya tentang pemikiran dan gagasan Kartini yang ingin memajukan Pendidikan di daerahnya. (kekecewaannya dijadikan motivasi untuk menjadi inovatif/kreatif”).

Ketidaksepahaman Kartini terhadap “tradisi yang kaku”, yang  tidak memberikan kekebebasan bagi Perempuan untuk berkembang dan maju dalam Pendidikan, sosial budaya dll, ditempuh dengan metode penyampaian gagasan/ide secara tertulis untuk merubah mindset/pola pikir dan culture set/Kumpulan budaya saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa Kartini muda adalah seorang yang “terpelajar/ilmiah” dan “beretika” sebagai seorang puteri bangsawan yang “sopan dan santun”, dalam bercakap, bertindak dan bertingkah laku.

 (Kemudian setelah beberapa tahun wafatnya Ibu Kartini, dari Kumpulan surat-suratnya kepada temannya di Belanda diterjemahkan, terbukalah sebenarnya sosok seorang Kartini muda yang di zaman kolonial sudah mempunyai gagasan dan pemikiran yang sangat  modern (mengikuti pemikiran bangsa Eropah) untuk mengangkat derajat kaum Perempuan Bumi Putera di dunia Internasional melalui Pendidikan, (kalau boleh menggambarkan ibarat “permata yang tersimpan dalam tas/jewels stored in a bag”)

Surat-surat tersebut dibukukan menjadi sebuah buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” atau yang juga biasa dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku tersebut mulanya berbahasa Belanda. Namun, pada tahun 1922 dan 1939, buku yang disusun dari kumpulan surat Kartini ini dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Seiring berjalannya waktu, Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi salah satu karya sastra yang paling berpengaruh dalam sejarah pergerakan emansipasi wanita di Indonesia.

Dalam salah satu suratnya yang telah diterjemahkan oleh Armijn Pane dalam Buku berjudul “Habis gelap terbitlah terang”

 Yang isinya :

Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemaiuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899).(*)

“Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! –Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak–kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)(*)

(Selain itu, karena gagasan dan pemikiran “modernnya”, surat-surat Kartini yang lainnya juga telah  diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan beredar  di Eropa, Asia, hingga Amerika melalui  buku kumpulan surat-surat  Kartini oleh J.H. Abendanon, Door Duisternis tot Licht).

Seperti Pepatah “Tak Lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan”, semangat pembaharuan  yang beretika untuk mendapatkan “kesempatan berkembang dan maju bagi Perempuan melalui Pendidikan” tak pernah pudar dimakan waktu, dengan tetap mengikuti perkembangan “emansipasi Perempuan dan keseteraan” di negara lain.

Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi dan mencerdaskan para Perempuan, diwujudkan dalam bentuk tulisan, seperti salah satu tulisan Kartini yang mencuri perhatian adalah “Upacara Perkawinan Suku Koja”, yang diterbitkan dalam majalah ketika usianya baru 16 tahun.  Selain itu, beberapa tulisan Kartini mengenai emansipasi perempuan juga dimuat di De Hollandsche Lelie, dan karya tulis  tersebut berhasil menarik perhatian orang-orang Belanda. Dan Kartini merupakan perempuan pertama yang memprakarsai perkumpulan dan memajukan pendidikan Perempuan, yang dimulai di Jepara, dengan sebuah sekolah kecil yang mengajarkan baca-tulis, kerajinan tangan, dan memasak. Kartini berniat untuk memajukan para perempuan pribumi yang masih terikat dengan budaya dan adat, sehingga kebebasan mereka dalam menentukan hidup pun ikut terenggut.(**)

Pembaharuan yang dilakukan oleh Kartini tanpa ada perlawanan phisik terhadap “tradisi yang ada” juga dibuktikan waktu pada  usia 24 tahun, tepatnya pada 12 November 1903, RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Melansir Kompas.com, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sudah memiliki tujuh anak dan dua selir.  Sebelum dinikahi, Kartini mengajukan beberapa syarat, yang  berkaitan dengan perjuangannya memajukan kaum perempuan. Kartini berusaha menghapuskan ketidakadilan yang selalu diterima sang ibu dengan meminta agar ibunya bisa masuk ke pendopo. Kartini ingin, ia juga dibolehkan membuka sekolah untuk mengajar putri-putri pejabat Rembang seperti yang dilakukannya di Jepara. Kemudian, dalam prosesi upacara penikahan, Kartini tidak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai laki-laki, untuk menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan harus sederajat.

Karena  syarat-syarat  dipenuhi, maka  Kartini tetap bisa mewujudkan cita-citanya untuk memajukan pendidikan perempuan pribumi. Sekolah yang didirikan (setelah menikah) berada di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang (sekarang Gedung Pramuka). Selain itu, Kartini juga sempat mendukung langkah suaminya memberantas candu, yang bertentangan dengan anggota Dewan Hindia. Namun, ALLAH SWT mentakdirkan pembaharuan/perjuangan Kartini , tidak berlangsung lama, karena pada 17 September 1904, ia meninggal hanya beberapa hari setelah melahirkan anak semata wayangnya. Namun, perjuangan Kartini menginspirasi banyak orang, salah satunya Conrad Theodor van Deventer, salah satu tokoh Politik Etis dari Belanda, yang mendirikan sebuah sekolah Perempuan, yang bernama Sekolah Kartini  didirikan pada 1912, atau sekitar delapan tahun setelah wafatnya RA Kartini.

Perjuangan RA Kartini yang luar biasa untuk “kaum Perempuan”  mendapatkan “pengakuan” dari Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964 pada  tanggal 2 Mei 1964. Dan  tanggal lahirnya, yaitu 21 April, ditetapkan sebagai Hari Kartini dan diperingati setiap tahunnya. sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan Bangsa Indonesia  atas jasa beliau dalam memperjuangkan emansipasi Perempuan/keseteraan dalam Pendidikan dan berkarya.

Memperhatikan metode pembaharuan/perjuangan  yang dilakukan RA Kartini melalui “Karya tulisan”(intelektual),  bukan power/kekuatan phisik, memberikan keuntungan  dapat mencegah  friksi/gesekan dan gejolak  sosial yang membahayakan,walaupun pembaharuan tersebut   “tidak sesuai dengan tradisi saat itu ”, maka layak kiranya Ibu RA Kartini mendapat gelar “The Ethical Reformer” atau pembaharu yang beretika, dan pejuang yang Ikhlas (the sincere fighter), tanpa pamrih (without ulterior motives). Kita berdo’a semoga almarhumah  Ibu Kartini senantiasa dalam Rahmat ALLAH SWT aamiin, dan Kita, bangsa Indonesia dapat meneruskan perjuangan beliau, aamiin.

Kata Mutiara RA Kartini :

“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.”(***)

Pantun :

BUNGA MELATI DI DALAM GELAS,

TAMPAK  INDAH BILA DI TAMAN,

IBU KARTINI PEJUANG YANG IHKLAS,

AKAN DI KENANG SEPANJANG ZAMAN.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Tanda :

(*)Referensi : Detikedu “Hari Kartini: Sejarah singkat dan perjuangan RA Kartini

(**)Referensi : Kompas.com/stori “Kisah Perjuangan RA Kartini

(***)Referensi : Kompas.com “34 Kalimat inspiratif RA Kartini”

Oleh H Nursani




«


NILAI IKMNILAI IPAK
ikm-triwulan-4-2024 ipak-triwulan-4-2024

 
  • Indeks Berita Mahkamah Agung Republik Indonesia

  • tidak dapat menampilkan berita ...
  • Indeks Pengumuman Badan Peradilan Umum

  • tidak dapat menampilkan berita ...
  • Indeks Informasi Badan Peradilan Umum

  • tidak dapat menampilkan berita ...